Respon imun, baik non-spesifik maupun spesifik pada umumnya berfungsi protektif. Tetapi, ada kalanya menimbulkan efek buruk dan terjadi penyakit yang disebut penyakit kepekaan yang berlebihan atau hipersensitivitas. Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas.
Kepekaan yang berlebihan atau hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respons imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.
Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV.
Manifestasi dan Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas Tipe I, II, III, IV
- I : Reaksi hipersensitivitas cepat – biasanya IgE
- II : Antibodi terhadap sel – IgG atau IgM
- III : Kompleks antigen – antibodi – IgG (terbanyak) / IgM
- IV : Reaksi hipersensitivitas lambat – sel T yang disensitasi
Reaksi Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi kepekaan yang berlebihan atau hipersensitivitas tipe I disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis (reaksi alergi). Timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen.
Istilah alergi yang pertama kali digunakan oleh Von Pirquet pada tahun 1906, diartikan sebagai “reaksi pejamu yang berubah” bila terpajan dengan bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih.
Anafilaksis, terdiri dari kata ana berasal dari kata Yunani yang berarti “jauh dari” dan phylaxis yang berarti “perlindungan”. Istilah tersebut adalah sebaliknya dari profilaksis. Semula diduga bahwa tipe I berfungsi untuk melindungi tubuh terhadap parasit tertentu terutama cacing. Pada reaksi ini, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun dengan dibentuknya IgE
Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi kepekaan yang berlebihan atau hipersensitifitas tipe II ini disebut juga reaksi sitotoksik. Terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R. Sel Natural Killer (NK) dapat berperan sebagai sel efektor yang menimbulkan kerusakan melalui mekanisme yang disebut Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC). Ikatan antigen-antibodi dapat pula mengaktifkan komplemen yang melalui reseptor C3b memudahkan fagositosis atau menimbulkan lisis.
Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II ialah destruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi hipersensitivitas tipe III disebut juga reaksi kompleks imun. Terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi disini biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepas Macrophage Chemotactic Factor (C3a dan C5a yang berupa faktor kemotaktik). Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepas berbagai mediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan sekitarnya.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi kepekaan yang berlebihan atau hipersensitivitas tipe IV disebut juga Delayed Type Hypersensitivitas (DTH). Tipe IV juga dikenal sebagai Cell Mediated Immunity atau reaksi imun seluler.